Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)
Sejak terbit pertama kali, tahun 1969, buku Fiqhud Da’wah – salah satu karya monumental Mohammad Natsir — telah diterbitkan belasan kali. Mungkin banyak cetakan tidak resmi. Yang jelas, buku ini telah menginspirasi ribuan kader dai dan intelektual muslim di Indonesia, bahkan sampai ke Malaysia dan negara lainnya.
Tentu, bukan hanya kualitas materi yang disajikan dalam buku ini, tetapi lebih daripada itu, buku ini memang ditulis oleh Mohammad Natsir, seorang tokoh yang telah memahami dan menjalani aktivitas dakwah dalam berbagai bidang dan medan dakwah.
Tulisan-tulisan Mohammad Natsir memang memiliki kekuatan tersendiri. Dalam pengantarnya untuk buku Capita Selecta (1954), Zainal Abidin Ahmad membuat komentar tentang karakter tulisan Mohammad Natsir:
”Tulisannya yang berisi dan mendalam dengan susunan yang berirama dan menarik hati, sangatlah memikat perhatian para pembaca. Bukan saja karena kata-katanya yang terpilih, yang disusun menurut caranya tersendiri itu, melainkan lebih utama lagi karena isinya yang bernas mengenai soal-soal sosial, ekonomi dan politik yang menjadi kebutuhan bangsa kita pada waktu itu. Semuanya dijiwainya dengan semangat dan ideologi Islam yang menjadi pegangan hidupnya.”
”Natsir,” kata Zainal Abidin Ahmad, ”Mengetahui betul kapan dia harus berteriak memberi komando untuk memimpin perjuangan bangsanya, dan dia tahu pula kapan masanya dia berkelakar dan bergembira untuk menghibur, membangkit semangat baru bagi perjuangan. Dengan lain perkataan, dia tahu waktunya untuk membunyikan terompet dengan genderang perang, jika ia hendak menghadapi lawan yang menentang cita-cita Islam, baik terhadap bangsa penjajah maupun terhadap bangsa sendiri yang belum menginsyafi akan ideologi Islam itu.”
Mr. Mohammad Roem menduga, kecermatan dan ketelitian Natsir dibangun dari kebiasaannya mempelajari al-Quran dengan teliti. ”Bahasa Natsir dihargai orang, malah dipuji orang. Menurut Bung Hatta, ada suatu masa, yang Presiden Soekarno tidak mau menandatangani sesuatu penerangan resmi, yang tidak disusun oleh Natsir.” (Lihat:
Mohamad Roem, ”Kelemahan atau Kebesaran Natsir”, dalam Anwar Harjono dkk., Mohammad Natsir… hal. 387.)
Karena itu, dalam membaca buku Fiqhud Da’wah dan berbagai karya Mohammad Natsir lainnya, patut dicatat, bahwa karya-karya itu ditulis bukan oleh ilmuwan biasa yang sedang menulis artikel untuk jurnal atau karya ilmiah tentang ilmu dakwah.
Tetapi, ingatlah, bahwa buku ini ditulis berdasarkan ilmu dan hikmah yang telah menyatu dalam pikiran dan jiwa seorang Mohammad Natsir. Buku ini ditulis sebagai panduan hidup dan panduan perjuangan meraih kesuksesan dan kejayaan dunia akhirat. Dan apa yang ditulis dalam buku ini memang telah dijalankan dan dicontohkan oleh Mohammad Natsir. Hasilnya pun terbukti.
*****
Dalam disertasinya berjudul “Pendidikan Kader Da’i Mohammad Natsir” di Universitas Ibn Khaldun Bogor, Dr. Ujang Habibie mengungkapkan, bahwa: Pada 26 Februari 1967, para ulama dan tokoh umat Islam yang berkumpul di Masjid al-Munawarah Tanah Abang, Jakarta, memutuskan sejumlah hal penting:
(1) Menyatakan rasa syukur atas hasil dan kemajuan yang telah dicapai hingga kini dalam usaha-usaha dakwah yang secara terus menerus dilakukan oleh berbagai kalangan umat, yakni para alim ulama dan para muballigh secara pribadi, serta atas usaha-usaha yang telah dicapai dalam rangka organisasi dakwah.
(2) Memandang perlu untuk lebih ditingkatkan hasil dakwah hingga taraf yang lebih tinggi, sehingga tercipta suatu keselarasan antara banyaknya tenaga lahir yang dikerahkan dan banyaknya tenaga batin yang dicurahkan dalam rangka dakwah tersebut.
Untuk menindaklanjuti dua itu, musyawarah para ulama dan zu’ama menyoroti berbagai persoalan, antara lain:
(1) Mutu dakwah yang di dalamnya tercakup persoalan penyempurnaan sistem perlengkapan, peralatan, peningkatan teknik komunikasi. Lebih-lebih lagi sangat dirasakan perlunya usaha menghadapi tantangan dari kegiatan yang dilancarkan oleh penganut agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan lain.
(2) Planning dan integrasi yang di dalamnya tercakup persoalan-persoalan yang diawali oleh penelitian (research)dan disusul oleh pengintegrasian segala unsur dan badan-badan dakwah yang telah ada dalam masyarakat ke dalam suatu kerja sama yang baik dan berencana.
Untuk melaksanakan berbagai program dakwah, maka musyawarah alim ulama itu memandang perlu untuk membentuk suatu wadah yang kemudian diberi nama “Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia”.
Pada kesempatan tersebut, Pak Natsir mengatakan: “Politik dan dakwah itu tidak terpisah. Kalau kita berdakwah, membaca al-Qur’an dan hadits, itu semuanya politik. Jadi kalau dulu kita berdakwah lewat jalur politik dan sekarang kita berpolitik melalui jalur dakwah. Ya mengaji politik begitulah. Saya merasa bahwa Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia itu tidak lebih rendah daripada politik. Politik tanpa dakwah itu hancur. Lebih dari itu, bagi saya untuk diam itu tidak bisa”
Tiga pilar dakwah
Awal kemunculan rezim Orde Baru, umat Islam menghadapi situasi yang pelik. Harapan “bulan madu” antara umat Islam dan Orde Baru segera pupus, meskipun umat Islam dan ABRI baru saja bersama-sama menumpas komunis. Pemerintah Orde Baru kemudian melancarkan program de-ideologisasi Islam, depolitisisasi Islam, dan sekulerisasi. Bahkan, program Kristenisasi dilakukan secara besar-besaran, membonceng program sekulerisasi. Selain partai Masyumi tidak boleh dihidupkan, ribuan tokoh Masyumi juga tidak boleh dicalonkan sebagai anggpta legislatif.
Di tengah situasi seperti itulah, Mohammad Natsir mengubah wajah dan pola dakwah menjadi gerakan yang komprehensif. Dakwah bukan sekedar aktivitas tabligh yang berbentuk ceramah-ceramah keagamaan, tetapi seluruh aktivitas untuk mewujudkan tegaknya misi kenabian. Pak Natsir sendiri memainkan peranannya sebagai seorang dai ideal. Beliau berperan sebagai negarawan, guru, penulis, aktivis sosial-kemasyarakatan, dan sekaligus pemimpin gerakan dakwah, nasional maupun internasional.
Tiga pilar dakwah dicanangkan Pak Natsir, yaitu: kampus, masjid, dan pesantren. Di dunia internasional, Pak Natsir aktif dalam sejumlah lembaga Islam internasional, memperkuat solidaritas dunia Islam. Di dalam negeri, beliau mendirikan dan membantu aktivitas sejumlah universitas Islam.
Ke daerah-daerah pelosok dan pulau terpencil, Pak Natsir mengirimkan dai-dai, untuk membina masyarakat suku-suku terpencil dan membendung arus Kristenisasi. Perkembangan pemikiran sekulerisasi dan liberalisasi Islam pun tak lepas dari kepedulian Pak Natsir. Namun, perkembangan politik dan kebijakan pemerintah juga senantiasa tak lepas dari pengamatan dan kepeduliannya.
Maka, selama sekitar 20 tahun (1967-1987), di masa hubungan antagonis antara Islam dan Orde Baru, Pak Natsir dan para ulama terus mengawal dan mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan aspirasi umat Islam. Berbagai saluran dipakai untuk menyampaikan aspirasi umat Islam.
Pada akhir 1980-an, ketika rezim Orde Baru mulai berubah dan menjalankan politik akomodatif terhadap umat Islam, Pak Natsir pun mendukung perkembangan tersebut. Pak Natsir menyetujui para kadernya aktif di ICMI, yang dipimpin BJ Habibie.
Sikap kritis, mandiri, kesungguhan, keikhlasan dan kecerdasan dalam dakwah itulah yang perlu kita teladani dari sosok Mohammad Natsir. Dalam situasi politik yang represif sekalipun, Mohammad Natsir tidak kehilangan arah dakwah. Sepanjang perjalanan dakwah itulah, buku-buku karya Mohammad Natsir, seperti Fiqhud Da’wah, Capita Selecta, dan sebagainya, memainkan peran penting. Buku-buku ini menjadi bacaan utama para aktivis dakwah di Indonesia dan Malaysia.
Da’wah bil-hikmah
Dalam buku Fiqhud Da’wah, Mohammad Natsir, membahas masalah “hikmah” sepanjang 83 halaman, dari 347 halaman bukunya. Mengutip pendapat Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar, M. Natsir menjelaskan makna hikmah sebagai berikut: “Ammal hikmatu fa-hiya fii kulli syai’in ma’rifatu sirrihi wa-faaidihi” (Adapun hikmah adalah memahamkan rahasia dan faedah tiap-tiap sesuatu).
Arti lain: Fal-hikmatu hiya al-‘ilmu al-shahiihu al-muharriku lil-iraadati ilaa al-‘amali al-naafi’i.” (Hikmah adalah ilmu yang shahih (benar dan sehat) yang menggerakkan kemauan untuk melakukan sesuatu perbuatan yang bermanfaat).
Qamus Lisanul Arab memberikan pemahaman: “hakiimun: man yuhsinu daqaa’iqa al-shinaa’aati wa-yufqihumaa”.
Mohammad Natsir kemudian menyimpulkan makna hikmah: “Hikmah, lebih dari semata-mata ilmu. Ia adalah ilmu yang sehat, yang sudah dicernakan; ilmu yang sudah berpadu dengan rasa periksa, sehingga menjadi daya penggerak untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat, berguna. Kalau dibawa ke bidang da’wah: untuk melakukan sesuatu tindakan yang berguna dan efektif.”
Penjelasan Pak Natsir tentang hikmah dalam dakwah ini sangat penting, sebab beliau adalah tokoh dakwah yang diakui oleh dunia internasional. Pak Natsir bukan sekedar akademisi atau pengajar mata kuliah ilmu dakwah.
Karena itulah, buku Fiqhud Da’wah ini penting untuk dikaji para pelajar, santri, atau mahasiswa. Buku ini ditulis berdasarkan kajian literatur dan juga pengalaman dakwah Pak Natsir yang sangat luas.
Pak Natsir menulis: “Bila kemampuan yang dinamakan ‘hikmah’ di bidang da’wah ini sudah dikuasai, maka petunjuk da’wah bil-hikmah itu diperlukan dalam menghadapi semua golongan, baik golongan cerdik cendekiawan, golongan awam, ataupun golongan yang suka bersoal jawab, bermujadalah. Dalam bahasa Indonesia seringkali “bil-hikmah” ini diterjemahkan dengan kata “bijaksana” atau “dengan kebijaksanaan.”
Di masa kini, di era disrupsi, dimana informasi dan ilmu pengetahuan begitu melimpah ruah, kemampuan ‘hikmah’ ini sangat diperlukan dalam dunia dakwah. Sekali lagi, kita renungkan makna hikmah yang dirumuskan Mohammad Natsir:
“Hikmah, lebih dari semata-mata ilmu. Ia adalah ilmu yang sehat, yang sudah dicernakan; ilmu yang sudah berpadu dengan rasa periksa, sehingga menjadi daya penggerak untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat, berguna. Kalau dibawa ke bidang da’wah: untuk melakukan sesuatu tindakan yang berguna dan efektif.”
Jadi, hikmah bukan sekedar ilmu; tetapi ilmu yang sudah dipadukan dengan kesadaran jiwa yang benar, sehingga menjadi daya penggerak untuk melakukan sesuatu yang berguna dan efektif. Dalam bahasa yang lebih sederhana, hikmah ini adalah pemahaman yang benar yang sudah menyatu dalam diri seseorang, yang mampu melahirkan perbuatan atau ucapan yang tepat dan bermanfaat.
Dakwah adalah kewajiban setiap muslim. Kata Nabi kita saw: “Siapa yang melihat kemunkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, dengan lisannya, dan jika tidak mampu, dengan hatinya. Itu adalah selemah-lemah iman.”
Di era melimpahnya informasi saat ini, setiap muslim dengan mudah bisa menjadi dai. Tetapi, dakwah perlu dibimbing oleh hikmah. Jangan asal semangat lalu menyebarkan berita, tanpa tabayyun atau tatsabbut atau cek dan ri-cek. Itu pun harus disertai dengan niat ikhlas karena Allah SWT.
Hikmah akan diberikan oleh Allah kepada orang-orang yang tekun dan ikhlas dalam mengerjakan sesuatu. Termasuk mau belajar dari kesalahan. Setiap anak Adam pasti pernah bersalah, dan sebaik-baik orang yang salah, adalah yang bertaubat.
Semoga kita bisa terus menggali dan mengambil pelajaran berharga dari pemikiran dan perjuangan dakwah Mohammad Natsir, seorang tokoh dakwah, Pelopor Mosi Integral NKRI, dan Pahlawan Nasional, yang terus memberikan inspirasi kehidupan dan perjuangan umat dan bangsa kita. Aamiin. (Tanjungpinang, 1 November 2022).
