Mewujudkan Peradaban Mulia di Kepulauan Riau

Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)

Kunjungan hari kedua (1/11/2022) di Kepulauan Riau (Kepri), menguatkan pandangan saya, bahwa provinsi ini menyimpan potensi besar untuk menjadi model kebangkitan peradaban mulia. Hari itu saya mengisi tiga acara: seminar di Universitas Maritim Raja Ali Haji (Umrah), Pengajian Ibu-ibu di Rumah Dinas Gubernur Kepri, dan Dialog dengan pengurus Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia se provinsi Kepulauan Riau. 

Ada tiga potensi yang dimiliki provinsi ini sebagai modal dasar kebangkitan peradaban Islam.     Pertama, potensi sejarah. Kepulauan Riau pernah menjadi kerajaan Islam yang disegani. Daerah ini pernah memiliki Raja Haji Fisabilillah, seorang raja yang hebat. Pada 1997, Raja Haji Fisabilillah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, melalui Keputusan Presiden RI No. 072/TK/1997.

Raja Haji Fisabilillah meninggal di Kampung KetapangMelakaMalaysia18 Juni 1784.  Ia dimakamkan di Pulau Penyengat Inderasakti. Raja Haji Fisabililah merupakan adik dari Sultan Selangor pertama, Sultan Salehuddin dan paman sultan Selangor kedua, Sultan Ibrahim. Namanya diabadikan dalam nama bandar udara di Tanjung Pinang, Bandar Udara Internasional Raja Haji Fisabilillah. Salah satu masjid di Selangor, Malaysia, yaitu kota Cyberjaya juga dinamakan Masjid Raja Haji Fisabililah

Raja Haji Fisabililah atau dikenal juga sebagai Raja Haji Marhum Teluk Ketapang adalah (Raja) Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga-Johor-Pahang IV. Ia terkenal dalam melawan pemerintahan Belanda dan berhasil membangun pulau Biram Dewa di sungai Riau Lama. Ia juga dijuluki sebagai Pangeran Sutawijaya (Panembahan Senopati) di Jambi. Sang Raja gugur saat melakukan penyerangan pangkalan maritim Belanda di Teluk Ketapang (Melaka) pada tahun 1784. Jenazahnya dipindahkan dari makam di Melaka (Malaysia) ke Pulau Penyengat oleh Raja Ja’afar (putra mahkotanya pada saat memerintah sebagai Yang Dipertuan Muda).

Ketika mengunjungi salah satu (bekas) Istana keturunan Raja Haji Fisabilillah, di Pulau Penyengat (31/10/2022), saya mendapat penjelasan bahwa Sang Raja merupakan seorang yang taat dalam beragama dan menerapkan syariat Islam secara konsisten. Raja ini adalah sepupu sastrawan Raja Ali Haji, yang merupakan cucu Raja Haji Fisabilillah. 

 Kedua, potensi khazanah intelektual. Kepulauan Riau dan juga Riau daratan memiliki kekayaan intelektual yang sangat kaya. Banyak ulama yang meninggalkan karya-karya intelektual berkualitas tinggi. Tentu, yang sangat terkenal adalah Gurindam 12, karya Raja Ali Haji. 

Provinsi Kepri telah menjadikan Gurindam 12 sebagai khazanah kebanggaan daerah ini. Puisi ini dipajang di berbagai tempat. Di pintu keluar bandara, kita bisa membaca Gunrindam 12. Di komplek Makam Raja Ali Haji, Gurimdam 12 dipahat di dinding marmer. Begitu juga di Auditorium Universitas Maritim Raja Ali Haji, Gurindam 12 pun dipajang di dinding secara lengkap. Saya belum pernah menjumpai puisi sepanjang itu di pajang secara lengkap. Ada juga lokasi yang disebut sebagai “Taman Gurindam”. 

Dalam seminar di Universitas Maritim Raja Ali Haji, saya menyampaikan makalah berjudul: Membangun SDM Unggul Melalui Universitas Berbasis Gurindam 12. Ini bukan basa-basi, karena sedang berkunjung ke Provinsi Kepri. Tetapi, faktanya, “Gurindam 12” adalah puisi legendaris yang berisi nilai-nilai pendidikan yang sangat tinggi. Karena itulah, Gunrindam 12 dijadikan sebagai bacaan wajib bagi santri tingkat SMP di Pesantren At-Taqwa Depok. Bahkan, salah satu bangunan di Pesantren At-Taqwa Depok juga diberi nama Gedung Raja Ali Haji.

Dalam seminar tersebut, saya menyampaikan harapan, semoga para ulama dan umara di Kepulauan Riau benar-benar menghayati dan mengamalkan isi Kitab Gurindam 12. Sayang sekali, jika Gurindam 12 hanya jadi pajangan dan dianggap bagian dari warisan masa lalu tanpa makna. 

Dalam pasal 12 Gunrindam 12 disebutkan: “Kasihan orang yang berilmu, tanda rahmat atas dirimu.”  Pesan ini disampaikan kepada Raja atau penguasa. Ini merupakan panduan yang penting bagi kebangkitan dan kemajuan suatu bangsa. Bahwa, cinta ilmu harus menjadi budaya di tengah masyarakat. Budaya ilmu adalah asas kebangkitan suatu bangsa. Tanpa budaya ilmu, bangsa itu akan semakin terpuruk.            

Potensi ketiga sebagai modal kebangkitan peradaban adalah kekayaan alam yang luar biasa. Provinsi ini dianugerahi Allah dengan jumlah pulau lebih dari 2400. Jumlah penduduknya hanya sekitar 2 juta jiwa. Beberapa dai Dewan Da’wah di Kepulauan ini bercerita bahwa kekayaan ikan di pulau-pulau itu sangat melimpah. Untuk hidup dengan layak tidaklah sulit, asalkan mau bekerja. 

Hanya saja, tantangan dakwah yang masih terbuka lebar di wilayah Kepulauan Riau. Tahun 2021, Dewan Da’wah Kepri meminta kiriman 40 dai ke Dewan Da’wah pusat. Saat ini, Dewan Da’wah baru bisa mengirimkan 10 orang dai. 

Para dai itu sangat diperlukan untuk membina masyarakat di berbagai pulau. Ada kisah, di satu pulau, jenazah tidak ditangani secara benar, karena tidak ada yang paham. Bahkan, jenazah itu dikubur dengan berdiri. Masih banyak masjid dan mushalla memerlukan imam yang baik. Seorang pejabat di Kanwil Kemenag Kepri bercerita, di sebagian ulau, asalkan bisa baca al-Quran dan bisa berdoa panjang, maka diangkat menjadi tokoh agama oleh masyarakat setempat.

*****

Inilah tiga potensi yang menjadikan Provinsi Kepri berpeluang besar mewujudkan satu peradaban mulia. Menurut Muhammad Asad, kebangkitan suatu peradaban ditentukan oleh kuatnya rasa bangga (‘izzah) dan keterkaitan dengan sejarahnya. Para cendekiawan dan ulama di wilayah ini perlu bekerja keras untuk menggali khazanah intelektual dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan saat ini. 

Dalam seminar di Universitas Maritim Raja Ali Haji, saya menyampaikan, bahwa Gurindam 12 perlu benar-benar dikaji, dihayati, dan dijadikan sebagai landasan kebangkitan. Kita doakan, semoga ulama dan umara di Kepulauan Riau ini mampu bekerjasama untuk melanjutkan perjuangan para pendahulu mereka yang hebat. Aamiin. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *