Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)
Salah satu tokoh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Malaysia, S.M. Mohamed Idris, pernah menulis satu buku kecil berjudul: ”Globalization and the Islamic Challenge, (Kedah: Teras, 2001).” Di awal tahun 2000, saya pernah mengunjungi kantornya di Pulau Penang, Malaysia. Ia lahir tahun 1926, dan wafat tahun 2019.
Ia dikenal sebagai aktivis senior yang berpengaruh dalam sejumlah pembuatan kebijakan tentang lingkungan dan konsumen. Dua lembaga yang lama dipimpinnya adalah: Sahabat Alam Malaysia dan Consumer Association of Penang.
Dalam buku ini, ia mencatat, bahwa globalisasi mempunyai banyak aspek yang perlu dikaji. Globalisasi bukan hanya melahirkan ketimpangan global di bidang politik dan ekonomi, tetapi, menurutnya, globalisasi merupakan ancaman yang sangat serius terhadap kaum Muslim.
“Globalization poses a serious threat to Muslims. It not only brings about economic exploitation and impoverishment, but also serious erosion of Islamic beliefs, values, culture, and tradition,” tulisnya.
Jadi, kata SM Idris, globalisasi bukan hanya mempraktikkan eksploitasi ekonomi dan pemiskinan, tetapi juga mengikis keyakinan, nilai-nilai, budaya, dan tradisi Islam. Kapitalisme global mempromosikan nilai-nilai individualisme, materialisme, konsumerisme, dan hedonisme.
Paham-paham itu jelas langsung menusuk jantung ajaran Islam. Pasca Perang Dingin, menurut SM Idris, satu-satunya kekuatan yang tersisa yang mampu memberikan tantangan terhadap proyek Globalisasi adalah dunia Islam. Ekonomi Cina dan Hindu, tampaknya cenderung mengintegrasikan diri ke dalam ekonomi global, walaupun hal itu akhirnya akan menghancurkan identitas peradaban mereka. (S.M. Idris, Globalization and the Islamic Challenge, (Kedah: Teras, 2001).
Apa yang ditulis oleh SM Idris itu sejalan dengan pendapat banyak ilmuwan – muslim maupun bukan muslim – yang menyimak dampak peradaban modern terhadap kehidupan umat manusia. Bahwa, umat manusia saat ini sedang menghadapi tantangan kerusakan nilai-nilai kehidupan yang sangat serius. Peradaban Barat yang masih mendominasi umat manusia terus menggerus nilai-nilai tradisional yang ada, dan memaksakan nilai-nilai sekuler yang menafikan Tuhan.
Lawrence E. Cahoone, dalam bukunya The Dilemma of Modernity (1988), menggambarkan sejak masa renaissance, manusia di Barat sudah harus hidup dalam alam modernitas, laksana ikan yang hidup di air. Bagi masyarakat non-Barat, kata Cahoone, mereka juga dipengaruhi oleh budaya modernitas Barat dengan kuat, suka atau tidak.
Inti modernitas, menurut pakar sosiologi Max Weber, adalah rasionalisasi, yang mensyaratkan adanya proses sekularisasi. Di Barat, kata David West, dalam bukunya “An Introduction to Continental Philosophy”, (1996), rasionalisasi selalu dikaitkan dengan proses sekularisasi yang oleh Weber disebut “dis-enchantment”.’ Masyarakat modern memang menempatkan akal manusia sebagai penentu kebenaran — bukan lagi agama — dan menjadikan agama sebagai urusan pribadi. (Alain Touraine, Critique of Modernity, 1995).
***
Apa yang disampaikan oleh sejumlah aktivis dan ilmuwan itu telah begitu tampak dalam kehidupan masyarakat kita. Nilai-nilai sekulerisme, hedonisme, materialisme, individualisme, telah begitu mendominasi pola pikir dan perumusan kebijakan pembangunan.
Misalnya, dalam penentuan ranking negara-negara maju dan peringkat universitas. Senantiasa diutamakan, bahwa kriteria negara maju adalah negara yang duitnya banyak. Yakni, negara yang pendapatan per kapitanya tinggi. Karena itu, program pembangunan yang utama adalah upaya mengentaskan kemiskinan.
Program ini sangatlah baik dan tidak keliru. Tetapi, dalam perspektif adab, segala sesuatu harus ditempatkan pada tempatnya secara adil. Dalam pandangan Islam, aspek terpenting dalam kehidupan adalah keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia. Sepatutnya, aspek-aspek inilah yang dijadikan sebagai indikator kemajuan yang paling utama. Sebab, aspek inilah yang menentukan kebahagiaan hidup manusia. Aspek materi adalah penunjangnya.
Fenomena semacam inilah yang disebut sebagai loss of adab. Dalam kondisi seperti ini, dalam melaksanakan kewajiban dakwahnya, umat Islam dituntut untuk menyiapkan dai-dai peradaban. Yakni, para dai yang memahami ajaran Islam dengan baik, dan juga pada saat yang sama memahami tantangan peradaban modern yang sudah begitu merasuki segala aspek kehidupan manusia.
Dalam setiap shalatnya, orang muslim diwajibkan berdoa: “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus. Yakni, jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat; bukan jalannya orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula jalannya orang-orang yang tersesat.”
Itulah sebenarnya dai peradaban. Yakni, dai yang mampu memahami mana shirathal mustaqim, dan mana shirathal maghdhuub, dan mana shirathal dhaalliin. Dai peradaban harus memahami benar, apa beda antara toleransi dan pluralisme, apa beda antara Islam dan sekulerisme dalam memahami realitas, apa beda antara relativisme dengan dhanniyyah, dan sebagainya.
Tigas dai adalah memperjuangkan kebenaran dan mencegah kemunkaran. Maka, kebenaran dan kemunkaran itu harus dipahami dengan baik oleh para dai. Ibarat seorang dokter, untuk menjaga kesehatan diri dan masyarakat, maka para dai harus tahu mana makanan yang baik dan mana makanan yang merusak tubuh manusia.
Dalam sebuah diskusi dengan para dosen pasca sarjana di sebuah universitas Islam, di Jawa Timur, Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud menyampaikan, bahwa memahami peradaban Barat bukan perkara mudah. “Barat” adalah peradaban besar yang sudah memimpin umat manusia selama ratusan tahun.
Karena itu, kuliah-kuliah tentang peradaban Barat dalam berbagai aspeknya, perlu diberikan secara serius. Tujuannya supaya bisa mengenali peradaban Barat dengan baik, sehingga bisa bersikap adil. Yakni, mengambil apa yang baik dan menolak hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Begitulah diantara kriteria dai-dai peradaban yang diperlukan di zaman ini. Semoga Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia dan semua lembaga dakwah dapat menunaikan tugas menyiapkan para dai peradaban ini dengan sebaik mungkin. Aamiin.
