Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)
Muhammad Asad dalam bukunya, Islam at The Cross Roads, mengingatkan, bahwa hambatan terbesar bagi kebangkitan peradaban Islam adalah budaya atau sikap imitasi terhadap gaya hidup Barat. “The Imitation – individually and socially – of the Western mode of life by Muslims is undoubtedly the greatest danger for the existence – or rather , the revival – of Islamic civilization,” begitu tulis Muhammad Asad.
Sikap imitasi – atau sikap meniru – ini lahir dari mental rendah diri (minder) dan pandangan yang merendahkan martabat diri sendiri, serta terlalu berlebihan dalam memahami kemajuan peradaban Barat atau peradaban lainnya. Inilah yang – misalnya – pernah disampaikan oleh tokoh Gerakan Turki Muda, Abdullah Chevdet, yang menyatakan: “There is only one civilization, and that is European civilization. Therefore, we must borrow western civilization with both its rose and its thorn.”
Jadi, kata Chevdet, untuk meraih kemajuan, maka kita harus mencontoh peradaban Barat secara total. Kita diminta mengambil apa saja yang datang dari Barat. Sebab, menurutnya, hanya peradaban Barat yang bisa dijadikan sebagai teladan kemajuan. Pandangan semacam ini pun sangat meluas di berbagai dunia Islam.
Haji Agus Salim, cendekiawan besar Indonesia, sangat menyadari akan dampak pendidikan Barat yang didirikan oleh pemerintah kolonial ketika itu. Salah satu dampak pendidikan Barat terhadap rakyat Indonesia adalah tertanamnya perasaan “rendah diri” (minder).
Haji Agus Salim adalah tokoh hebat dan unik. Beliau dikenal sebagai cendekiawan hebat, ulama, diplomat ulung, dan juga guru sejati. Mohammad Natsir mengakui ia banyak menerima didikan langsung dalam soal keislaman, politik, dan kepemimpinan dari Haji Agus Salim.
Buya Hamka menceritakan, dalam buku 100 Tahun Haji Agus Salim, bahwa Haji Agus Salim-lah yang menyuruhnya segera balik ke Indonesia. Padahal, Hamka baru beberapa bulan tinggal di Mekkah. Ketika itu, tahun 1927, Hamka melarikan diri dari kampung halamannya, dan pergi ke Makkah untuk menetap di sana.
Dalam buku “Manusia dalam Kemelut Sejarah” (LP3ES, 1994), Mr. Mohammad Roem, seorang tokoh Islam dan juga diplomat ulung, menulis satu artikel menarik tentang Haji Agus Salim dengan judul: “Memimpin Adalah Menderita: “Kesaksian Haji Agus Salim.” Bahasa Belandanya: “leiden is lijden.”
Sebagai aktivis Jong Islamieten Bond (JIB) dan sebagai kawan anak-anak Haji Agus Salim, Mohammad Roem sering berkunjung ke rumah Haji Agus Salim. Untuk menghindarkan anak-anaknya dari model pendidikan Barat, Haji Agus Salim mendidik seluruh anaknya di rumah. Anak-anaknya tidak disekolahkan, tetapi lancar berbahasa Belanda sejak kecil.
“Haji Agus Salim menerangkan, bahwa ia sendiri sudah melalui jalan “berlumpur”, akibat pelajaran kolonial. Ia tidak tega anak-anaknya melalui jalan serupa dan akan memberi pelajaran sendiri kepada anak-anaknya. Di waktu itu bahasa Belanda tidak mungkin mendapat pelajaran yang wajar dalam masyarakat. Orang yang tidak tahu bahasa Belanda dianggap orang rendahan. Malah yang tidak tahu bahasa Belanda merasa rendah diri. Dalam golongan terpelajar, bahasa yang dipakai dalam hidup sehari-hari juga bahasa Belanda,” tulis Pak Roem.
Anak-anak Haji Agus Salim juga dididik agar memiliki rasa percaya diri sebagai orang Indonesia dan tidak merasa rendah diri menghadapi bangsa Barat. Setelah Indonesia merdeka, barulah anak bungsu Haji Agus Salim disekolahkan ke sekolah rakyat.
Menurut Mohammad Roem, Haji Agus Salim mempunyai sikap yang sama dengan Ki Hajar Dewantara, Kyai Ahmad Dahlan, dan lain-lain dalam memandang pendidikan bentukan kolonial.
“Sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah Hindia Belanda mempunyai maksud mencetak tenaga-tenaga yang diperlukan masyarakat yang dikuasai Belanda. Masyarakat kolonial memerlukan karyawan kasar, rendah, menengah, dan atas, sampai insinyur. Juga juru tulis, dan birokrat yang bekerja di kantor, di bawah pimpinan Belanda. Kecuali kecakapan teknis, mereka itu dibekali dengan mentalitas untuk dapat menjalankan tujuan pemerintah kolonial,” tulis Mohammad Roem.
Dengan ilmu dan pengalamannya, Haji Agus Salim memiliki kepercayaan diri yang besar untuk mendidik anak-anaknya sendiri di rumah. Ia berhasil menanamkan disiplin diri dan sikap cinta ilmu kepada anak-anaknya. Juga, sikap percaya diri sebagai orang muslim dan bangsa Indonesia yang tidak rela dipandang rendah oleh bangsa Barat.
***
Kaum Muslim dan bangsa Indonesia memiliki konsep dan pengalaman sejarah pendidikan yang hebat. Bahkan, konsep itu terbukti telah melahirkan manusia-manusia hebat, sejak zaman Nabi Muhammad saw hingga kini.
Konsep itu bertumpu pada penanaman adab atau akhlak mulia kepada murid. Setalah itu, mereka dididik untuk cinta ilmu, ibadah, dan perjuangan. Sepatutnya lembaga-lembaga pendidikan Islam yakin dengan konsep dan kriteria keunggulan suatu lembaga pendidikan dengan mengutamakan kriteria-kriteria iman, taqwa, dan akhlak mulia.
Umat Islam sepatutnya merumuskan kriteria keunggulan lembaga pendidikan Islam yang berpijak kepada nilai-nilai Islam dan tidak menjiplak begitu saja dengan konsep dan praktik pendidikan sekuler. Mental “pak tiru” yang menghambat terjadinya kebangkitan Islam. Tetapi, umat Islam juga tidak boleh bersikap anti-pati untuk menolak apa pun yang datang dari Barat.
Dalam berbagai forum kajian saya bertanya kepada para guru yang hadir: SMA apakah yang terbaik di kota ini? Beberapa kali saya menerima jawaban, yang terbaik adalah SMA ini dan itu, yang murid-muridnya banyak diterima di Perguruan Tinggi Negeri.
Sejumlah pesantren yang saya kunjungi memasang poster besar-besaran berupa foto dan nama santri yang diterima di PTN. Tetapi, anehnya, tidak ada ucapan selamat bagi santri yang melanjutkan kuliah ke Perguruan Tinggi yang berada dalam naungan pesantren itu sendiri. Seolah-olah, tidak ada kebanggaan terhadap kampus yang dimilikinya sendiri.
Padahal, Allah SWT sudah mengingatkan: “Janganlah kalian merasa hina dan jangan kalian berduka cita, padahal kalian adalah orang-orang yang paling tinggi derajatnya, jika kalian beriman.” (QS 3: 139).
Jadi, problem utama umat Islam adalah berada dalam diri orang-orang muslim itu sendiri. Karena itu, jika “mudghah” (qalb) itu baik, maka akan baiklah seluruh diri manusia. Sebaliknya, jika qalb itu rusak, maka akan hancurlah dirinya, masyarakat, dan juga bangsanya.
Berawal dari penyakit “minder”, lalu menjiplak konsep-konsep kehidupan dan pendidikan Barat tanpa sikap kritis yang memadai. Akibatnya, umat terus menempatkan pendidikan dan peradaban Islam sebagai satelit dan pengekor “kemajuan” peradaban lain. Wallahu A’lam bish-shawab.