Oleh: Dr. Adian Husaini
(Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)
Al-Quran banyak menyebut tentang kaum Yahudi, Nasrani, kaum shabiah, dan sebagainya. Bahkan, tiap mengerjakan shalat, orang Muslim membaca doa: ”… bukan jalannya al-maghdhuub dan bukan jalannya al-dhaalliin.” Kata Nabi saw, al-maghdhub adalah al-Yahuud, dan al-dhaalliin, adalah al-Nashara.
Itu adalah isyarat yang jelas, bahwa umat Islam tidak hanya harus paham agamanya sendiri. Tapi, juga harus paham agama-agama lain – termasuk pemikiran-pemikiran yang berkembang di luar Islam.
Maka, tak heran, sejarah Islam dipenuhi dengan munculnya ribuan ilmuwan muslim dalam studi tentang agama-agama lain, khususnya studi agama Yahudi, Kristen (Kristologi), dan berbagai agama lainnya. Itu ada di berbagai penjuru dunia, termasuk di Nusantara.
Khusus tentang studi agama Kristen, penjelasan yang cukup melimpah tentang Kristen dan kaum Nasrani dalam al-Quran dan hadits Nabi Muhammad saw, telah mendorong banyak ilmuwan Muslim menekuni secara serius studi Kristologi. Imam Syahrastani, Abul Qahir al-Baghdadi, Ibn Hazm, al-Ghazali, Fakhruddin al-Razi, Ibn Taimiyah, dan sebagainya adalah sebagian kecil dari ulama Islam yang ’bertungkus lumus’ (bekerja serius) dalam mengkaji bidang Kristologi.
Uniknya, dalam mengkaji berbagai agama, para ulama Islam tetap mengacu kepada perspektif Tauhid, bukan pada perspektif humanisme sekuler yang netral agama. Dalam perspektif ini, unsur subjektif dan objektif dipadukan sekaligus. Para ulama Islam, tetap melakukan studi agama-agama secara objektif, yakni mengkaji fakta dengan seobjektif mungkin. Tetapi, ketika menilai fakta itu, maka mereka menggunakan posisi (cara pandang) Islam, bukan cara pandang netral agama.
Contoh yang menarik adalah kajian yang dilakukan oleh ilmuwan ’ensiklopedik’ Abu Rayhan Muhammad Ibn Ahmad al-Biruni (362/973-443/1051), yang lebih dikenal dengan nama al-Biruni. Dalam disertasi doktornya di International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), Kuala Lumpur, yang berjudul Early Muslim Scholarship in Religionswissenschaft, Dr. Kamaroniah Kamaruzaman menyatakan, bahwa metode studi agama yang digunakan oleh al-Biruni dalam studi agama-agama masih sangat relevan digunakan sampai saat ini. Studi agama-agama model al-Biruni – dan para ulama Islam lainnya – mampu memadukan antara objektivitas dan akurasi dengan keyakinan akan kebenaran Islam itu sendiri. Dengan kata lain, al-Biruni mengkaji berbagai agama, tanpa harus meninggalkan keyakinannya sebagai Muslim.
Perlu dicatat, al-Biruni adalah ilmuwan multi-disiplin ilmu. Prof. Mulyadi Kartanegara, dalam bukunya, Pengantar Epistemologi Islam, (2003), mencatat, bahwa pada abad ke-11 itu al-Biruni, dengan menggunakan rumus-rumus matematika, sudah mampu menghitung keliling bumi sebesar 24.778,5 mil. Ilmu pengetahuan modern sekarang mencatat, keliling bumi adalah 24.585 mil. Sedangkan diameter bumi diukurnya sebesar 7.878 mil. Kini, ilmuwan modern menemukan diameter bumi adalah 7.902 mil.
Di tengah berbagai kegiatan penelitian ilmiahnya di bidang sains, al-Biruni juga menyempatkan diri menekuni bidang studi agama-agama selama bertahun-tahun dan menulis kitab yang monumental di bidang ini, yakni Kitab al-Hind dan Kitab al-Atsar. Dalam Kitab al-Hind, al-Biruni menegaskan, bahwa agama yang haq hanya satu, yakni ad-Dinul Islam. Kata al-Biruni: ”Fainna maa ‘adaa al-haqq zaaigh wa al-kufru millah wahidah min al-inhiraaf ‘anhu.”
*****
Di Indonesia, studi Kristologi sudah berlangsung berabad-abad lalu. Salah satu karya monumental di bidang ini adalah kitab Tibyan Fii Ma’rifatil Adyan, karya ulama Aceh Nuruddin ar-Raniry. Kitab Tibyan ditulis Raniry atas permintaan Sulthanah Safiyyah al-Din Shah, sekitar tahun 1642-1644.
Tujuannya tak lain untuk menjaga aqidah umat. Kitab ini mengkaji berbagai jenis agama dan kepercayaan selain Islam. Pakar pendidikan dan epistemologi Melayu, Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud menilai ditulisnya kitab Tibyan Fii Ma’rifatil Adyan sebagai bentuk kepedulian dan kepekaan penguasa terhadap kesucian agama, dengan merujuk kepada ulama yang paling hebat dan berpengaruh kala itu.
Kedatangan penjajah Belanda di Indonesia semakin menyuburkan kajian-kajian Kristologi di Tanah Air Indonesia. Catatan sejarah menunjukkan, bahwa Pangeran Diponegoro memilih untuk meninggalkan istana Mataram juga dipicu oleh kesadaran agamanya. Dalam Babad Cakranegara disebutkan, adalah Pangeran Diponegoro sendiri yang menolak gelar putra mahkota Kerajaan Mataram dan merelakan tahta untuk adiknya R.M Ambyah. Latar belakangnya, untuk menjadi Raja, yang mengangkat adalah orang kafir (Belanda). Diponegoro tidak ingin dimasukkan kepada golongan orang-orang murtad. Ini merupakan hasil tafakkurnya di Parangkusuma.
Dikutip dalam buku Dakwah Dinasti Mataram: “Rakhmanudin dan kau Akhmad, jadilah saksi saya, kalau-kalau saya lupa, ingatkan padaku, bahwa saya bertekad tak mau dijadikan pangeran mahkota, walaupun seterusnya akan diangkat jadi raja, seperti ayah atau nenenda. Saya sendiri tidak ingin. Saya bertaubat kepada Tuhan Yang Maha Besar, berapa lamanya hidup di dunia, tak urung menanggung dosa (Babad Diponegoro, jilid 1 hal. 39-40).
Arus besar Kristenisasi di Indonesia pada awal abad ke-20 semakin menggalakkan kaum Muslim untuk melakukan studi Kristologi. Tujuannya tak lain untuk membendung arus Kristenisasi. Sejumlah ulama pakar Kristologi yang terkenal, seperti Syekh Arsyad Thalib Lubis, KH Abdullah Wasian, KH Bahaudin Hudhari, dan sebagainya.
Dalam disertasi doktornya yang kemudian diterbitkan sebagai buku dengan judul Membendung Arus: Repons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Dr. Alwi Shihab mencatat: “… sebagai organisasi yang paling aktif membendung misi-misi Kristenisasi, Muhammadiyah secara terbuka berupaya menganggulangi pasang naik kegiatan misionaris Kristen dalam berbagai cara.”
Juga, tulis Alwi Shihab: ”kehadiran misi Kristen dan penetrasi mereka ke negeri ini, serta pengaruh yang mereka desakkan, menjadi faktor pendorong utama yang memicu munculnya semangat keagamaan KH Ahmad Dahlan yang menggebu-gebu, yang pada gilirannya menyebabkan lahirnya Muhammadiyah. Kehadiran dan penetrasi Kristen terutama adalah hasil upaya kolonialisme Belanda dalam memupuk semangat misi Kristen.”
Semangat membendung arus Kristenisasi itulah yang antara lain mendorong lahirnya ribuan Kristolog-kristolog Muslim di Indonesia. Sejalan dengan dinamika dan tantangan zaman, studi-studi kristologi di Indonesia perlu ditingkatkan lebih serius, baik dari segi isi, metodologi, maupun sistemetika. Apa yang telah dirintis oleh para kristolog terdahulu perlu dikaji ulang, dan dikembangkan lebih baik lagi. (***).
Editor: JS