Oleh: Dr. Adian Husaini
(Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)
Meskipun Bung Karno sudah meyakinkan bahwa Piagam Jakarta adalah “kompromi maksimal yang bisa dicapai”, tetapi usaha untuk mengubah Piagam Jakarta masih terus dilakukan. Usaha itu tidak berhenti sampai sidang BPUPK, tetapi terus berlanjut sampai Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Beginilah cerita ringkasnya!
Dalam bukunya, Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Bung Hatta menceritakan tekanan kaum Kristen untuk mengubah Piagam Jakarta: “… wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam kawasan Kaigun berkeberatan sangat atas anak kalimat dalam Pembukaan UUD yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Walaupun mereka mengakui bahwa anak kalimat tersebut tidak mengikat mereka, dan hanya mengikat rakyat yang beragama Islam, namun mereka memandangnya sebagai diskriminasi terhadap mereka golongan minoritas…Kalau Pembukaan diteruskan juga apa adanya, maka golongan Protestan dan Katolik lebih suka berdiri di luar Republik.”
Karena adanya tekanan pihak Kristen tersebut, Hatta mengaku lalu mengajak sejumlah tokoh Islam untuk membicarakan masalah tersebut. Dan ia menyatakan: “Supaya kita jangan terpecah sebagai bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Ada versi lain seputar proses penghapusan tujuh kata itu, sebagaimana ditulis dalam buku berjudul Lahirnya Satu Bangsa dan Negara (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1997). Ditulis bahwa berbagai pihak berusaha menekan Bung Hatta agar mengubah beberapa bagian dari Piagam Jakarta yang merupakan Mukaddimah dari UUD 1945. Berikut ini kita kutipkan cerita itu agak panjang:
“Siang hari tanggal 17 Agustus 1945, sekitar pukul 12.00, setelah selesai upacara proklamasi di Pegangsaan Timur 56, beberapa anggota Penitia Kemerdekaan Indonesia dari luar Jawa, terutama Indonesia bagian Timur, datang di Asrama Prapatan 10. Mereka itu ialah: Dr. Sam Ratulangi, wakil dari Sulawesi; Tadjoedin Noor dan Ir. Pangeran Noor dari Kalimantan; Mr. Latuharhary, wakil dari Maluku; Mr. I Ketut Pudja, wakil dari Bali dan Nusa Tenggara; dan Andi Pengerang dari Sulawesi Selatan.
Mereka menanyakan kepada para mahasiswa beberapa hal mengenai soal yang ada hubungannya dengan rencana UUD yang akan ditetapkan sebagai UUD. Para mahasiswa menyatakan, bahwa yang akan dipakai sebagai konsep adalah Jakarta Charter dan rencana UUD yang telah disusun dengan mengadakan beberapa perubahan yang fundamental. Para wakil dari luar Jawa itu, terutama karena mewakili golongan agama di luar Islam (Kristen, Hindu Bali, dan lain-lain) merasa keberatan apabila dalam Preambule itu masih ada kalimat yang berbunyi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Karena hal itu bisa diartikan bahwa dasar negara Indonesia adalah Islam. Mereka menghendaki agar diubah menjadi: “Ketuhanan Yang Maha Esa” saja. Para utusan juga menghendaki agar beberapa pasal dalam rencana UUD, antara lain yang menyatakan bahwa Presiden harus seorang Islam, supaya diubah sehingga pasal 6 ayat 1 berbunyi: “Presiden ialah orang Indonesia asli.”
Menurut mereka tujuan perubahan tersebut supaya kita jangan menjadi terpecah-belah sebagai bangsa, karena itu perlu dihilangkan kalimat-kalimat yang bisa menganggu perasaan kaum Kristen atau pemeluk agama lain…. Persoalan tersebut oleh mahasiswa segera diberitahukan kepada Bung Hatta melalui telepon. Bung Hatta setuju untuk membicarakan hal itu sore hari itu juga tanggal 17 Agustus 1945, pukul 17.00. Untuk menjelaskan persoalan ini tiga orang diutus menghadap Bung Hatta sore itu, menyampaikan alasan perubahan yang dikemukakan wakil-wakil dari Indonesia Timur….
Perubahan-perubahan yang diajukan oleh para utusan ini dapat diterima Bung Hatta dan akan disampaikan kepada Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 18 Agustus 1945, esok harinya.”
Demikian cerita sejumlah pelaku sejarah tentang peristiwa penghapusan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta. Meskipun agak berbeda versi dengan penjelasan Hatta, tetapi intinya sama, yakni tuntutan pihak Kristen dan lain-lain yang berkeberatan dengan Piagam Jakarta adalah terhadap tujuh kata, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Bahkan, jika ditelusuri, sejak awal, dalam sidang-sidang BPUPK, pihak Kristen memang berkeberatan dengan rumusan Piagam Jakarta, khususnya keberadaan “tujuh kata” tersebut.
*****
Dalam buku “Alam Pikiran dan Jejak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito” (Jakarta: Kompas, 2014), ditulis bahwa dari 27 anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), hanya 3 orang yang merupakan eksponen-eksponen perjuangan Islam, yaitu KH Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikoesoemo, dan Kasman Singodimedjo.
Dalam sidang 18 Agustus 1945 tersebut, KH Wahid Hasyim tidak bisa hadir, karena masih dalam perjalanan dari Surabaya. Kasman Singodimedjo adalah anggota baru di PPKI. Ia tidak ikut dalam perdebatan di BPUPK. Maka, beban terberat ada di pundak Ki Bagus. Setelah berunding intensif dengan Tengku Muhammad Hasan dan Bung Hatta, maka “Tujuh Kata” itu kemudian diganti dengan “Yang Maha Esa”.
Ketika Prawoto Mangkusasmito – ketua umum Masyumi yang terakhir – menanyakan arti Ketuhanan Yang Maha Esa kepada Ki Bagus, maka dijawab tegas dan singkat: “Tauhid”. Jawaban Ki Bagus itu sempat dikonfirmasi oleh Prawoto kepada Tengku Muhammad Hasan. “Beliau tidak membantahnya,” tulis Prawoto.
Makna Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai “Tauhid” itu juga ditegaskan dalam Munas Alim Ulama NU di Situbondo, tahun 1983. Rois Am NU ketika itu, KH Ahmad Siddiq, menulis makalah berjudul “Hubungan Agama dan Pancasila”:
“Kata “Yang Maha Esa” pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan imbangan tujuh kata yang dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula. Pergantian ini dapat diterima dengan pengertian bahwa kata “Yang Maha Esa” merupakan penegasan dari sila Ketuhanan, sehingga rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu mencerminkan pengertian tauhid (monoteisme murni) menurut akidah Islamiyah (surat al-Ikhlas). Kalau para pemeluk agama lain dapat menerimanya, maka kita bersyukur dan berdoa.”
Hilangnya “Tujuh Kata” itu telah menjadi sejarah. Para tokoh Islam yang terlibat dalam perumusan itu adalah para pejuang yang hebat. Kini, kita mengambil hikmahnya, dan melanjutkan perjuangan mereka dengan sebaik-baiknya. Perjuangan mewujudkan pribadi-pribadi dan peradaban mulia tidak boleh berhenti.
(Depok, 18 Agustus 2020).