Oleh: Dr. Adian Husaini
(Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)
Pro-kontra tentang status Baha’i di Indonesia masih terus bergulir. Sejumlah ulama di Indonesia menyatakan, bahwa Baha’i adalah aliran sesat yang menyimpang dari ajaran Islam. Karena itu, maka tidak sepatutnya aliran ini diberikan kedudukan yang sama dengan enam agama yang diakui secara resmi oleh UU No 1/PNPS/1965.
Sejumlah pihak lain menyatakan, bahwa Baha’i adalah suatu agama tersendiri. Situs resmi Kemenag RI menyatakan, bahwa Baha’i adalah suatu agama tersendiri, dan bukan aliran dari suatu agama tertentu. Baha’i memiliki nabi, kitab, doktrin, dan ajaran tersendiri.
Lebih jauh dijelaskan:
“Agama Baha’i merupakan agama yang dirujukkan pada ajaran Baha’ullah. Agama Baha’i lahir di Iran sekitar tahun 1844. Ajaran Baha’i memiliki penekanan kesatuan hakikat semua agama. Dalam rangka kesatuan ini, Tuhan diibaratkan sebagai Matahari. Sementara umat-umat beragama diibaratkan orang yang hidup dalam keluarga dan di rumah tertentu. Setiap orang hanya bisa melihat matahari berdasarkan warna kaca jendela masing-masing, sehingga ada yang melihat matahari itu berwarna hijau, merah, biru, dan sebagainya.
Menurut ajaran Baha’i, setiap orang beragama harus keluar dari ekslusivisme agama masing-masing, sehingga mampu melihat hakikat kebenaran Tuhan Yang Satu. Setiap orang harus keluar dari rumahnya masing-masing, sehingga bisa melihat sinar matahari yang hakiki, tidak melalui kaca jendelanya. Atas dasar itu, ajaran Baha’i sering disebut memiliki prinsip kesatuan agama.
Baha’i memiliki 12 asas yang meliputi: Keesaan Tuhan, kesatuan agama, persatuan umat manusia, persamaan hak antara perempuan dan laki-laki, penghapusan prasangka buruk, perdamaian dunia, kesesuaian agama dan ilmu pengetahuan, mencari kebenaran secara bebas, keperluan pendidikan universal, keperluan bahasa persatuan sedunia, tidak boleh campur tangan dalam politik, penghapusan kemiskinan dan kekayaan yang berlebihan.
Agama Baha’i juga memiliki peribadatan seperti puasa, sembahyang, dan doa. Barangkali inilah yang sering disebut menyamai Islam. Ritual tersebut, meski memiliki persamaan, tapi dalam beberapa hal berbeda. Meski ada kemiripan dengan Islam, seharusnya tidak menjadi masalah, bukankah banyak agama yang juga memiliki kesamaan, antara satu dengan lainnya?
Banyak agama yang memiliki kemiripan satu dengan lainnya. Kristen, Yahudi, dan Islam, memiliki beberapa persamaan dalam ajarannya, karena ketiganya merupakan kesinambungan agama Ibrahim. Agama Kristen Koptik di Mesir, dalam beberapa hal juga menyerupai kaum Muslimin, menggunakan simbol-simbol yang biasa dipakai Muslim.
Atas dasar pemikiran tersebut, ucapan Menag memberikan ucapan selamat merayakan hari raya Nawruz kepada komunitas Baha’i, tidak berbeda dengan ucapan kepada pemeluk agama lain, seperti Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu. Hal ini lazim dilakukan oleh seorang Menteri Agama.” (sumber).
*****
Menurut artikel di situs Kemenag tersebut, alasan ditetapkannya Baha’i sebagai agama tersendiri adalah: “Baha’i memiliki nabi, kitab, doktrin, dan ajaran tersendiri.” Karena sebagai agama tersendiri, maka ia tidak bisa dikatakan sebagai sesat dan menodai agama Islam, meskipun banyak ajaran dan ritualnya yang mirip dengan Islam.
Lalu, bagaimana seorang muslim memandang Baha’i? Bagi seorang muslim, soal kenabian ini sudah jelas dan tuntas. Siapa saja yang mengaku sebagai Nabi setelah Nabi Muhammad saw, pasti sesat dan pendusta. Sikap dunia Islam sudah sangat jelas, bahwa orang-orang seperti Mirza Ghulam Ahmad, Lia Eden, Mosadeq, dan siapa saja yang mengaku sebagai Nabi, pasti pembohong. Begitu juga orang yang mengaku sebagai nabi dan kemudian menyebarkan ajaran-ajaran Baha’i.
Dalam sejarah Islam, orang yang mengaku sebagai nabi setelah Nabi Muhammad saw, langsung diperangi oleh Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq. Mengaku-aku sebagai utusan Presiden saja ada hukumannya, apalagi mengaku sebagai Utusan Tuhan. Ini bukan perkara kecil.
Di Indonesia sudah banyak yang mengaku sebagai nabi; mengaku mendapat wahyu dari Tuhan, akhirnya diadili dan dijatuhi hukuman dengan pasal penodaan agama. Contoh yang terkenal adalah Lia Eden. Ia mengaku mendapat wahyu. Bahkan ia pernah mengaku sebagai Malaikat Jibril. Pada tahun 2005, Lia Eden ditangkap dan adili. Ia ditahan karena melanggar Pasal 156a dan 157 KUHP.
Menyimak artikel di situs Kemenag tersebut, tampak jelas, bahwa Baha’i adalah kelompok yang sombong dan merasa lebih hebat dari agama-agama yang ada. Cobalah simak kata-kata yang ditulis artikel dalam situs Kemenag tersebut: “Agama Baha’i merupakan agama yang dirujukkan pada ajaran Baha’ullah. Agama Baha’i lahir di Iran sekitar tahun 1844. Ajaran Baha’i memiliki penekanan kesatuan hakikat semua agama. Dalam rangka kesatuan ini, Tuhan diibaratkan sebagai Matahari. Sementara umat-umat beragama diibaratkan orang yang hidup dalam keluarga dan di rumah tertentu. Setiap orang hanya bisa melihat matahari berdasarkan warna kaca jendela masing-masing, sehingga ada yang melihat matahari itu berwarna hijau, merah, biru, dan sebagainya.
Menurut ajaran Baha’i, setiap orang beragama harus keluar dari ekslusivisme agama masing-masing, sehingga mampu melihat hakikat kebenaran Tuhan Yang Satu. Setiap orang harus keluar dari rumahnya masing-masing, sehingga bisa melihat sinar matahari yang hakiki, tidak melalui kaca jendelanya. Atas dasar itu, ajaran Baha’i sering disebut memiliki prinsip kesatuan agama.”
*****
Nah, apa artinya, bahwa setiap pemeluk agama disuruh keluar dari rumahnya masing-masing, untuk bisa melihat sinar matahari yang hakiki? Jadi, menurut ajaran Baha’i, orang muslim tidak bisa memahami Tuhan secara hakiki jika tetap di dalam “rumah” Islam? Apakah ajaran seperti ini bukan suatu penghinaan terhadap Islam?
Nah, ini lagi! Katanya, “Setiap orang hanya bisa melihat matahari berdasarkan warna kaca jendela masing-masing, sehingga ada yang melihat matahari itu berwarna hijau, merah, biru, dan sebagainya.”
Lalu, orang Baha’i melihat matahari dengan warna apa? Jika semua warna digabung jadi satu, apa jadinya? Menurut situs ini, https://brainly.co.id/tugas/32600206: “Pencampuran warna-warna gelap akan menghasilkan warna hitam. Sedangkan pencampuran semua warna akan menghasilkan warna abu-abu.”
Jika kelompok atau aliran Baha’i mengaku paling hebat, sehingga mau menyatukan agama-agama, itu sebenarnya suatu pemikiran yang absurd. Mereka hanya akan sampai pada ketidakjelasan atau kesesatan. Kasihan! Ujungnya, kalau tidak “hitam” ya “abu-abu”!